Uncategorized

Me Time Is?

Sejak kecil saya sudah menyukai dengan dunia merangkai kata. Ya, menulis. Suka nulis puisi dan cerpen. Spesifiknya engga tau kapan, mulai diajak buat terlibat dunia menulis. Dan engga tau hal apa yang bikin saya terjun ke dunia itu. Mungkin karena dulu pernah ditugaskan buat nulis puisi.

Tugas nulis puisi itu dari guru mata pelajaran B. Indonesia pas sekolah dasar. Seneng banget rasanya buat nulis puisi. Bikin cerita sederhana. Hal itu bikin nyaman aja pas ngerjainnya. Engga ada beban gimana-gimana. Kalau temen saya, bilangnya susah, saya rasa engga juga. Dan saya dapat nilai bagus dari puisi yang sudah saya buat. Nambah girang bukan kepalang.

But, yang paling saya inget itu waktu SMA kelas dua, saya pernah nulis cerpen. Saat itu, beberapa siswa diminta salah seorang guru untuk nulis cerpen. Saya termasuk yang ikutan nulis. Temanya bebas, apa saja. Lumayan banyak yang ikutan. Sekitar 20 siswa kali. Lupa. Setelah melalui proses seleksi. Ada dua cerpen yang dipilih, salah satunya cerpen tulisan saya.

Seneng sih. Bikin nagih buat baca ulang cerpen punya sendiri. Apa yang membuat cerpen saya dipilih? Entahlah. Walaupun dulu saya baca ulang-ulang tuh cerpen, tapi nyatanya sekarang sudah lupa isinya kayak apa, ceritanya kayak gimana. Gak berbekas sama sekali.

Ya, bisa dibilang saya sudah berkecimpung dunia tulis menulis sudah lama. Meskipun sudah lama, saya terjun di dunia itu, jujur saya belum tau apa yang membuat saya senang mengerjakannya. Asal nulis aja. Lempeng-lempeng aja. Tanpa tau, apakah yang ditulis itu bermanfaat untuk orang lain (meskipun sekarang masih sama, engga tahu bermanfaat atau tidak). Maklum lah karena dulu masih bocah, masih harus banyak belajar.

Beberapa tahun lalu, tepatnya saat kuliah semester dua ada informasi tentang lomba nulis artikel di mading kampus. Menarik. Pikir saya. Saya pun mengikuti lomba tersebut. Kalau engga salah judul artikel yang saya lombakan “Menegur Hati”. Kurang lebih seperti itu. Setelah lomba tersebut berakhir, saya dihubungi untuk berkumpul bertemu dengan para peserta lomba lainnya. Di sebuah ruangan, kami berkumpul untuk mendengarkan pengumuman, siapa yang menjadi pemenang. Seorang di antara kami menjadi pemenangnya, dan itu bukan saya.

Akhir pertemuan itu, seseorang menyampaikan bahwa semua peserta lomba itu akan diikutkan dalam kelas menulis. Betapa bersyukurnya saya hingga saat ini diberikan kesempatan untuk bergabung belajar menulis.

Bukan hanya itu, dari pertemuan itu juga saya mengetahui bahwa ada lowongan pekerjaan sebagai redaktur atau penulis di media online. Saya tertarik untuk melamar pekerjaan tersebut. Saya dan para pelamar lain, menjalani beberapa tes. Tes menulis berita dan wawancara. Singkatnya, dari beberapa orang yang sudah melakukan tes itu, dua orang di antaranya diterima bergabung. Dan saya salah satunya. Alhamdulillah.

Selama kurang lebih satu setengah tahun, saya menjalani pekerjaan sebagai penulis (meskipun ada jeda waktu diberhentikan). Gampang-gampang susah. Beberapa kali saya mengalami up and down, trial and error. Acap kali saya mengalami kehabisan ide dan kurang mood buat nulis (karena tuntutan pekerjaan, meskipun dibilang kehabisan ide atau kurang mood, saya harus maksa buat nulis).

Alhamdulillah dari semua hal yang terjadi, saya merasa senang menjalaninya. Banyak sekali ilmu dan pengalaman yang bisa saya dapatkan selain di bangku perkuliahan. Saya bersyukur, saya bisa merasakan bagaimana dunia kerja itu di saat saya masih aktif kuliah. Alhamdulillah saat itu juga, saya dipertemukan dengan orang-rang yang super baik (maaf kalau terkesan lebay). Tapi ini benar-benar yang saya rasakan.

Pada suatu kesempatan, saya berkumpul dengan karyawan-karyawan lainnya. Seorang pemimpin redaksi, bertanya kepada semua karyawannya, “Apa yang Anda rasakan saat menulis?”. Sebelum tiba giliran saya menjawab, dalam hati saya berbisik dan mengulang pertanyaan itu, “Apa yang saya rasakan saat menulis?”

Sungguh pertanyaan yang membuat saya berpikir keras. Padahal sepintas pertanyaan itu mudah untuk dijawab. Dan menulis sudah menjadi suatu hal yang tidak asing bagi saya saat itu. Karena menulis sudah menjadi bagian dari keseharian saya. Harusnya saya bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah. Tapi kenapa pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala saya. “Iya sebenarnya apa sih yang saya rasakan saat saya menulis?”

Orang-orang sudah menjawab pertanyaan tersebut. Tibalah giliran saya. Beliau mengulang pertanyaan itu kepada saya, “Apa yang Anda rasakan saat menulis?” Dengan menghela napas, “Saat saya menulis, saya merasa sedang introspeksi diri,” jawab saya. Beliau menanggapi, “Sama seperti saya.” Serius?

Jawaban yang saya ucapkan saat itu masih teringat sampai sekarang. Saya berusaha mencerna baik-baik jawaban saya itu. Ya, benar. Bagi saya, saat saya sedang menulis saya sedang introspeksi diri. Tulisan membuat saya berkaca pada diri saya sendiri. Seperti saat saya sedang menasihati seseorang dan saya berpikir bahwa saya juga membutuhkan nasihat itu. Dari menasihati orang itu, sebenarnya saya sedang menasihati diri saya sendiri. Ngerti kan maksud saya?

Sampai sekarang menulis membuat saya merasa lega, lega bisa menuangkan apa yang ada dalam otak saya dan apa yang sedang saya pikirkan serta mengupasnya secara tuntas. Menulis membuat saya bisa menerima diri saya apa adanya. Menulis membuat saya mengetahui dimana letak kelemahan diri saya dan memperbaiki kelemahan itu. Bahkan menulis membuat saya merasa lebih baik dari sebelumnya. Lebih baik dalam artian, saya banyak belajar dari apa yang sudah dialami dan saya kemas dalam tulisan. Menulis ibarat sebuah nasihat untuk diri sendiri dan pada intinya menulis membuat saya berkaca.

Beberapa waktu lalu, saya menerima sikap yang kurang enak dari seseorang. Secara spontan, saya engga terima diperlakukan seperti itu. Dalam hati, “Orang itu perlu edukasi diri, bagaimana cara mengkritik pekerjaan orang dengan baik dan sopan.” Tapi saya engga bisa berbuat apa-apa. Bisa saja sih saya pilih untuk melepaskan kekesalan saya dengan omongan yang pedas juga. Itu bukan jadi pilihan bagi saya. Percuma. Saya tidak mau adu omongan dan menambah masalah yang nantinya menjadi panjang.

Saya cuma bisa istigfar dan menulis kejadian itu. Seperti diary saja. Saya mencurahkan kekesalan saya dalam tulisan. Hingga ujungnya dari tulisan itu saya menemukan (bisa dikatakan) solusi. Saya berdo’a semoga orang tersebut diberikan hidayah dan petunjuk oleh Allah SWT. Karena kita semua pasti tau, ajaibnya sebuah do’a. Dan semoga orang lain tidak merasakan hal yang sama dengan saya. Saya bisa menerima sikap kurang enak itu, tapi belum tentu orang lain. Dan mungkin saja tidak sepenuhnya orang tersebut ada niatan untuk ngomong engga enak ke saya. Mungkin sayanya saja yang baper-an. (meskipun dari beberapa pendapat teman yang tau, emang ngomongnya sudah keterlaluan :p).

Saya hanya berusaha memberikan contoh bagaimana menulis membuat saya sedang introspeksi diri.
So, bagaimana menulis menurut kalian?

Foto: Pexels

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *